25 Juni, 2009

Soroti Kurikulum Gender

Muslimah Hizbut Tahrir Kota Medan menggelar Seminar Pendidikan bertajuk ”Mewaspadai Kurikulum Gender dan Demokrasi dalam Pendidikan”, Sabtu (23/5) di Gedung Bina Graha Pemprovsu Medan. Sekitar 500 peserta yang terdiri dosen, guru, dan mahasiswa memadati ruangan acara. Teatrikal dari Teater Konspirasi bertema: “Sajak Sekolahku yang Malang” mengantarkan acara inti. Peserta tampak terkesan dengan teatrikal yang digelar. Gender dan Demokrasi menjadi sorotan utama dalam penyampaian Afrida, S.Pd selaku pembicara pertama. “Gender secara bahasa berarti jenis kelamin. Namun secara istilah, gender bukan hanya perbedaaan karena jenis kelamin, tetapi juga faktor alam (budaya, agama, kultur),” ungkap Afrida. Berdasarkan pengertian istilah inilah ada pihak yang menyerang hukum Islam, karena dianggap bias gender -memperlakukan perempuan secara tidak adil- seperti hukum waris, poligami dan kewajiban perempuan sebagai ibu serta pengatur rumah tangga. Beliau menyampaikan aktivis gender mengupayakan ide-idenya masuk ke dalam kurikulum pendidikan. Jalan ini dipermudah dengan diberlakukannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan di sekolah. Dengan kurikulum ini sekolah diberi hak otonom untuk mengatur kegiatan belajar mengajarnya. Dan untuk Perguruan Tinggi telah disahkan UU BHP (Badan Hukum Pendidikan) yang juga menyerahkan pengaturan kurikulum kepada masing-masing perguruan tinggi. ”Aktivis gender tidak sendiri, mereka didukung dan didanai negara-negara asing dan lembaga internasional. Misalnya Amerika mengucurkan dana kepada berbagai organisasi muslim dan pesantren untuk mengangkat persamaan gender dan membantu demokratisasi. Kanada dan Australia juga aktif membantu pendanaan proyek-proyek gender di Indonesia. The Asia Foundation memberikan dana sebesar Rp. 6 milyar untuk mensosialisasikan Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLDKHI). The Ford Foundation juga mendanai penyelenggaraan Musawah di Malaysia pada bulan Februari 2009 untuk melakukan perubahan terhadap Hukum Keluarga Islam,”papar Afrida. Di Akhir penyampaiannya, Beliau mengajak seluruh peserta untuk menolak kurikulum Gender di sekolah, pesantren maupun perguruan tinggi, karena kurikulum ini merupakan upaya liberalisasi generasi muslim yang berujung kehancuran keluarga, masyarakat dan bangsa. Pembicara kedua, Fitria Yusfani, MSi kembali menekankan pendidikan Indonesia saat ini adalah pendidikan sekuler materialistik. “Sistem ini harus segera dihentikan, karena terbukti tidak mampu menciptakan generasi yang berkepribadian Islam. Pendidikan harus dikembalikan pada asas aqidah Islam yang menjadi dasar, penentuan arah, tujuan, penyusunan kurikulum, standar nilai, proses belajar mengajar, penentuan kualifikasi guru atau dosen serta budaya sekolah atau kampus,” papar beliau. Peserta memberikan respon positif dan dukungannya untuk mewujudkan pendidikan Islam di Indonesia. Seperti Ibu Supiati dari Binjai, beliau memberi saran kepada seluruh rekan-rekan tenaga pengajar untuk memberikan waktu 15 menit dalam upaya memahamkan Islam dan mengaitkan materi pelajaran dengan pemikiran Islam. Ibu Mardiah (dosen IAIN) menyarankan Hizbut Tahrir Indonesa untuk bekerja sama dengan DEPDIKNAS dalam melakukan perbaikan di dunia pendidikan.

Tidak ada komentar: