27 Maret, 2009

PEMUDA QUR'ANI

http://intuisininil.blogspot.com

Segala puji bagi Allah SWT semata, Tuhan Alam Semesta, dan kesudahan yang baik itu adalah milik orang-orang yang bertaqwa. Semoga Shalawat dan salam sejahtera tetap terlimpah kepada Nabi Muhammad s.a.w hamba Allah dan RasulNya, Nabi terakhir dan tidak ada nabi sesudahnya, juga kepada keluarga dan para sahabat beliau semuanya.

Ismail kecil dikenal sebagai sosok pemuda Qur’ani. Dalam usia antara 10 hingga 15 tahun telah digambarkan dalam Al Qur’an Surat As Shaffat (37)  ayat 102,

Tatkala sampai pada usia dapat diajak jalan bersama...” Saat itulah sang ayah Ibrahim a.s mengatakan kepadanya:

Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku diperintahkan menyembelih engkau, bagaimana pendapatmu nak?”
Sang anak menjawab:”Wahai ayah, kerjakanlah apa yang diperintahkan Tuhan kepadamu, insyaAllah engkau akan dapati aku termasuk orang yang bersabar”

Ismail kecil begitu penuh pesona, nurani ini tersentuh mendengar jawabannya. Dialah generasi Tauhid, generasi yang mencintai TuhanNya dan pasrahkan hidupnya kepada Yang Maha Hidup. Dialah generasi yang berkepribadian Islam dan bertekad menjadikan aqidah Islam, Al Qur’an dan hadist nabi sebagai rujukan hidup, sebagai way of life.

Generasi yang berhasil dalam pembinaan untuk mengokohkan aqidah Islam dalam dirinya, akan mampu mengarungi medan kehidupan dengan penuh keberanian, tidak ada yang perlu ditakuti kecuali murka Allah. Hidupnya hanya diabdikan kepada Allah, pantang putus asa dan menyerah pada problem dan konflik yang melanda kehidupannya. Generasi Qur’ani memiliki jiwa kepemimpinan yang tampak dari tanggung jawabnya terhadap segala aktivitas dalam kehidupannya. Baik pemimpin bagi diri, keluarga dan masyarakatnya. Mereka mengerti betul bahwa hidupnya sarat dengan amanah, dan kelak harus dipertanggung jawabkan di hadapan Allah SWT.

Mencintai Allah dan Rasulullah
Anak adalah karunia Allah yang tidak dapat dinilai dengan apapun. Ia menjadi tempat curahan kasih sayang orang tua. Namun sejalan dengan bertambahnya usia anak, muncul agenda persoalan baru yang tiada kunjung habis. Ketika beranjak dewasa anak dapat menampakkan wajah manis dan santun, penuh bakti kepada orang tua, berprestasi di sekolah, bergaul dengan baik di lingkungan masyarakatnya.   Akan tetapi dilain fihak dapat pula berlaku sebaliknya, sehingga orang tua sering dibuat cemas memikirkannya.

Setiap anak itu unik, masing-masing dari mereka memiliki kebutuhan, tantangan, permasalahan yang berbeda.   Mereka juga memiliki potensi, kemampuan dan bakat yang berbeda, juga hobinya lebih sering berbeda.  Seorang anak membutuhkan panutan, hal tersebut sangat diperlukan agar ketika beranjak dewasa anak mampu menjadi manusia yang bertanggung jawab, kreatif, serta sanggup menjadi pribadi yang mandiri.  Kendati demikian orang tua perlu lebih dulu meletakkan bingkai yang tepat sehingga tidak terjadi disorientasi pada anak.  Penjelasan dengan bahasa yang sederhana dan istilah yang mudah difahami menjadi tantangan tersendiri bagi orang tua dalam menjelaskan hakikat hidup ini.  Bahwa hidup adalah untuk beribadah (QS Adzdzariyat (51) ayat 56) dalam rangka memperoleh ridhaNya dan dapat berjumpa dengan Allah di akhirat kelak.

Bila berharap anak tidak hanya pandai tetapi juga salih/salihah, maka menyerahkan pendidikan sepenuhnya kepada sekolah tidaklah cukup.   Mendidik sendiri dan membatasi pergaulan di zaman globalisasi saat ini juga tidak mungkin.  Membiarkan mereka lepas bergaul di lingkungannya cukup berisiko. Lalu bagaimana orang tua mendidik anak-anak agar anak-anak seperti Ismail kecil yang cerdas, mencintai Allah (dan Rasulullah)?

Dalam persoalan ini orang tua haruslah memperhatikan dua hal, pertama memberikan pendidikan anak agar mengenal kemudian mencintai Allah dan RasulNya.  Bagaimana anak bisa mencintai Allah dan Rasulullah bila anak tidak mengenal Tuhannya dan tidak memiliki idola/tokoh panutan yang benar.

Cinta dan kasih sayang cenderung melahirkan ketaatan dan pengorbanan. Seseorang yang telah mengenal Allah dan RasulNya akan memiliki naluri untuk mentaati yang diperintahkanNya dan menjauhi yang dilarangNya.

Dengan akhlaqul karimah anak dalam proses pembelajaran dan termotivasi akan berbakti kepada orang tua, santun dan sayang kepada sesama, peduli kepada lingkungan, jujur, memiliki prinsip-psinsip keadilan, bertanggung jawab, sabar, tekun, amanah, serta nilai-nilai Islam lainnya.

Perlu diingat semua yang dilakukan, shalat, puasa, haji, bersedekah, berinfaq, dalam rangkah memperoleh cinta Allah, Ridha Allah dan menjadi jalan kemudahan untuk berjumpa dengan yang dicintai yakni Allah Rabbul Izzati.

Masa anak-anak mempunyai keistimewaan berupa kelenturan serta kesucian dan fitrah. Tetapi orang tua sering lupa sisi perasaan dan kejiwaan anak dalam pembentukan kepribadiannya. Padahal pada setiap ingatan anak selalu terdapat catatan lengkap tentang hubungan mereka dengan orang tuanya. Pujian terhadap anak akan memiliki pengaruh yang sangat dominan terhadap anak. Ia akan menggerakkan perasaan dan inderanya untuk berbuat kebaikan-kebaikan. Rasulullah pun pernah memberikan pujian kepada seorang anak yang belajar bahasa Arab dengan mengatakan: “Ia adalah sebaik-baik anak muda”.

Pengenalan anak-anak kepada Allah dan RasulNya ditujukan untuk menghunjamkan rasa cinta kepada Allah SWT dan RasulNya.  Menanamkan cinta hanya bisa dilakukan dengan cinta pula. Karena itu landasan pertamanya adalah cinta kepada anak.  Ketika orang tua hendak mendarahdagingkan kecintaan kepada Allah SWT dan RasulNya dalam setiap aliran darah anak-anaknya, maka ia harus terlebih dahulu menanamkan rasa cinta dalam jiwanya kepada anak-anak mereka.  Cermin dari kecintaan ini adalah pertama, tertanam dalam jiwa bahwa anak-anak itu adalah buah hatinya.  Kedua, setiap berbicara dengan anak tataplah matanya dengan cinta, dan berbicaralah dengan perasaan penuh cinta pula.  Ketiga, niatkan bahwa apa yang disampaikan kepada anaknya adalah sebagai hadiah sekaligus tanda kasih sayangnya kepada mereka.   Gagal memiliki kecintaan dalam mengenalkan anak kepada Allah SWT dan Rasulullah saw  merupakan tanda utama kegagalan.

Pada sisi lain, setiap ucapan atau perilaku yang ditujukan untuk mengenalkan Al Khaliq dan Rasulullah kepada anak haruslah mengandung ruh.  Artinya ucapan dan perilaku kita sebagai orang tua pun harus lahir dari rasa cinta kita kepada Zat Yang Maha Perkasa dan Rasul pilahanNya.  Mungkinkah orang yang hampa dari kecintaan kepada Tuhannya bisa dapat melahirkan generasi yang kecintaan kepada Tuhannya begitu luar biasa?

Ammar bin Yasir sangat cinta kepada Allah dan RasulNya karena ayah ibunya Yasir dan Sumayyah adalah para pecinta Allah dan RasulNya. Begitu juga Abdullah bin Zubair, ia dibina oleh orang tuanya Asma’ binti Abu Bakar dan Zubair Al Awwam.

Anak-anak memang lahir melalui kita, tetapi mereka bukan milik kita. Jangan sampai kita hanya sekedar sebagai orang tua biologis bagi mereka. Mendoakan mereka agar kelak menjadi anak yang salih/salihah, mandiri tidak menjadi beban orang lain, bermanfaat sebanyak-banyaknya bagi kepentingan umat dan sesama pada umumnya, serta kelak memperoleh pasangan yang salihah/salih.

Disamping itu melalui pemahaman dan pengarahan orang tua yang intens, dapat mengantisipasi anak dari hal-hal yang melanggar syariah Islam, karena mereka telah mengenal Allah dan RasulNya.

Ibnu Sina dalam kitabnya AsSiyasah mengatakan: ”Seyogyanya seorang anak itu dididik oleh orang tua atau seorang guru yang mempunyai kecerdasan dan agama, piawai dalam membina akhlaq, cakap dalam mengatur anak, jauh dari sifat ringan tangan dan dengki, dan tidak kasar kepada muridnya”.

Pandai dan beraninya anak-anak sekarang dalam mengemukakan argumentasi untuk menolak perintah atau nasihat, oleh sebagian orang tua atau guru kadang dianggap sebagai sikap bandel atau susah diatur.  Padahal bisa jadi hal itu karena kecerdasan atau keingintahuannya yang besar membuat anak menjawab atau bertanya, tidak selalu menurut dan diam (karena takut) seperti anak di zaman dulu.

Kedua, Ketauladanan kedua orang tua, adalah contoh riil yang mudah ditiru anak.   Orang tua adalah guru pertama bagi anak-anaknya.  Keberhasilan proses pembelajaran mengenalkan anak kepada Allah dan RasulNya memerlukan kerjasama yang kompak antara ayah dan ibunya.  Bagi anak-anak rumah haruslah sebagai pusat ilmu terutama ilmu mengenal Allah dan RasulNya.
Bukankah Allah telah menjamin akan meninggikan beberapa derajad bagi orang orang yang beriman yang berilmu. (QS al Mujadilah (58) : 11).

Mempelajari ilmu takkan lepas dari kitab ataupun buku-buku sebagai media referensi yang senantiasa memenuhi akan kebutuhan ilmu. Keberadaan perpustakaan rumah menjadi hal yang sangat penting untuk mengkondisikan anak-anak senantiasa dekat dengan ilmu dan bersahabat dengan kitab-kitab ilmu.

Imam asy Syayid Hasan al Banna dalam Risalahnya, Sarana Paling Efektif dalam Mendidik Generasi Muda dengan Pendidikan Islam yang Murni mengatakan, “Adalah sangat penting adanya perpustakaan di dalam rumah, sekalipun sederhana. Koleksi bukunya bisa dipilihkan dari buku-buku sejarah Islam, Biografi Salafus Shalih, Aqidah Akhlaq, serta buku ilmu pengetahuan yang bermanfaat.”

Pertanyaan yang penting untuk diajukan adalah, anak-anak sekarang lebih mengenal siapa? Ternyata kini anak kita lebih mengenal artis sinetron, grup band atau penyanyi favoritnya, pemain basket ataupun pemain sepak bola jagonya.

Mengajak Anak menghadiri majelis-majelis kaum dewasa juga penting. Dalam Hadist Riwayat Ahmad, Rasulullah saw bersabda:
”Aku biasa menghadiri pertemuan-pertemuan para pemuka kaum bersama paman-pamanku. ” Kemudian ajaklah anak-anak untuk mengkaji Al Qur’an dalam kajian bersama keluarga. Acara ini sekaligus menjadi sarana tawsiyah untuk seluruh anggota keluarga.  Sekali waktu tema yang akan dikaji bisa diserahkan kepada anak-anak.  Apabila mungkin anak diminta untuk memimpin kajian.  Orang tua bisa memberi arahan dan koreksi untuk hal-hal yang kurang tepat, sekaligus media berlatih anak berani menyampaikan pendapatnya.  Acara ini dapat dilakukan setelah shalat berjamaah.

“Perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.” (QS Thaha (20):132)

Pendidikan Seks
Menurut Dr. Abdullah Nashih Ulwan, pendidikan seks bagi anak adalah pengajaran, penyadaran dan penerangan tentang masalah-masalah seksual yang diberikan kepada anak sejak ia mengerti masalah-masalah yang berkenaan dengan seks, naluri dan perkawinan.  Dengan begitu, jika anak telah dewasa ia akan dapat mengetahui masalah-masalah yang diharamkan dan yang dihalalkan serta mampu menerapkan perilaku Islami dan tidak akan memenuhi naluri seksualnya dengan cara-cara yang tidak Islami.

Pendidikan seks dalam Islam merupakan bagian integral dari pendidikan aqidah, akhlaq dan ibadah.  Terlepasnya pendidikan seks dengan ketiga unsur itu akan menyebabkan ketidak jelasan arah bagi pendidikan seks itu sendiri, bahkan mungkin akan menimbulkan kesesatan dan penyimpangan dari tujuan asal manusia melakukan kegiatan seksual yakni dalam rangka pengabdian kepada Allah.  Oleh karena itu pelaksanaan pendidikan seks tidak boleh menyimpang dari tuntunan Syariat Islam.

Mendidik anak agar tidak melakukan ikhtilat, bercampur baurnya laki-laki dan perempuan bukan mahramnya tanpa ada keperluan yang dibolehkan oleh syariat Islam. Dan juga mendidik anak agar tidak melakukan khalwa, yakni jika seorang laki-laki dan perempuan bukan mahramnya berada di suatu tempat berdua saja, biasanya tempatnya tersembunyi.

Dalam memberikan pendidikan seks bagi anak dan remaja, hendaknya diwaspadai faham liberalis (membolehkan berbuat sesuai kehendak individu dengan dalih hak azasi manusia/HAM).

Entahlah, mengapa diantara sesama orang tua muslim banyak silang pendapat tentang serbuan liberalisasi ini, padahal dampak negatif yang ditimbulkan begitu nyata.  Alangkah lebih baik  kita waspada dan sharing saling berbagi informasi dan berbagi ilmu.   Karena dengan prinsip menjunjung tinggi kebebasan individu, liberalisme cenderung membolehkan setiap orang melakukan apa saja sesuai dengan kehendaknya.  Manusia tidak lagi harus memegang kuat-kuat aturan agamanya.   Bahkan kalau memang aturan agama itu ada yang tidak sesuai dengan kehendak individu, maka yang dilakukan adalah menafsir ulang ayat-ayat tuhan agar tidak bertabrakan dengan prinsip dasar liberalisme. 

Akankah generasi Qur’ani menjadi utopia belaka?
Wallahu ‘alam.
(Tulisan oleh Ninil, dimuat di Bulletin Tabligh Vol.1 (4), 1427H/2006M)

1 komentar:

Noval1st mengatakan...

assalamualaikum............


Wau tmbah bagus aja ya konsepnya



aq dukung lho 9999,9999%


ok!!!


wassalamualaikum