22 Agustus, 2009

Hukum-Hukum Seputar Ibadah Shaum


Posted: 20 Aug 2009 12:00 PM PDT

Dalil kewajiban shaum.

فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ

Siapa saja di antara kalian yang melihat hilal bulan Ramadhan, maka berpuasalah. (QS al-Baqarah [2]: 185).

Dalil shaum juga didasarkan pada hadis penuturan Ibn Umar ra. yang menyatakan:

«اَنَّ النَّبِيَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: بُنِيَ اْلاِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ: شَهاَدَةِ اَنْ لاَ الَهَ اِلاَّ اللهُ، وَاَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، وَاِقاَمِ الصَّلاَةِ، وَاِيْتاَءِ الزَّكاَةِ، وَحَجِّ الْبَيْتِ، وَصَوْمِ رَمَضاَنَ»

Sesungguhnya Nabi saw. pernah bersabda,Islam itu dibangun di atas lima perkara: kesaksian bahwa tidak Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah; mendirikan shalat; menunaikan zakat; beribadah haji; dan shaum Ramadhan.” (HR al-Bukhari, Muslim dan Ahmad).

Shaum wajib Bagi yang Balig dan Berakal

Karena itu, secara pasti shaum merupakan kewajiban setiap Muslim yang telah balig dan berakal. Dalam hal ini, anak-anak dan orang gila tidak wajib untuk berpuasa. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi saw.:

«رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ: عَنِ الصَّبِي حَتَّى يَبْلُغَ وَعَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الْمَجْنُوْنِ حَتَّى يَفِيْقَ»

Telah diangkat pena (taklif hukum) atas tiga orang: dari anak kecil hingga balig; dari orang yang tidur hingga dia bangun; dan dari orang gila hingga ia waras. (HR Abu Dawud).

Wanita Haid dan Nifas Tidak Wajib Puasa

Wanita haid dan nifas juga tidak wajib berpuasa, karena puasa bagi mereka adalah tidak sah. Jika mereka telah suci dari haid maka mereka wajib meng-qadha’ puasa yang ditinggalkannya. Ketentuan ini didasarkan pada hadis penuturan Aisyah ra. yang menyatakan bahwa Nabi saw. pernah bersabda:

«فِي الْحَيْضِ كُنَّا نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ»

Karena haid, kami telah diperintahkan untuk meng-qadha’ shaum, tetapi kami tidak diperintahkan untuk meng-qadha’ shalat. (HR Muslim, an-Nasa’i, Abu Dawud, Ibn Majah dan Ahmad).

Siapa Yang Diwajibkan Mambayar Fidyah ?

Siapa saja yang tidak kuasa untuk berpuasa karena suatu kondisi tertentu, seperti orang yang sudah sangat tua/lanjut usia, yang menjadikan shaum baginya sangat berat, lalu orang yang sakit yang penyakitnya tidak mungkin disembuhkan, maka mereka juga tidak wajib untuk berpuasa; tetapi mereka wajib untuk membayar fidyah sebagai gantinya. Ketetapan ini didasarkan pada firman Allah SWT:

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ

Tidaklah Allah menjadikan di dalam agama ini suatu hal yang berat/kesempitan bagi kalian. (QS al-Hajj [22]: 78).

Allah SWT juga berfirman:

وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ

Bagi orang-orang yang menanggung beban berat dalam berpuasa, mereka wajib memberikan fidyah, yakni memberi makan orang miskin. (QS al-Baqarah [2]: 184).

Ada juga hadis penuturan Ibn Abbas bahwa Nabi saw. pernah bersabda:

«وَمَنْ اَدْرَكَهُ الْكِبَرُ فَلَمْ يَسْتَطِعْ صِيَامَ رَمَضاَنَ فَعَلَيْهِ لِكُلِّ يَوْمٍ مُدًّ مِنْ قَمْحٍ»

Siapa saja yang telah mencapai usia lanjut, lalu dia tidak kuasa untuk melaksanakan puasa Ramadhan, maka ia wajib untuk mengeluarkan satu mud gandum setiap hari. (HR al-Baihaqi dan ad-Daruquthni).

Ibn Umar ra. juga menuturkan hadis:

«اِذَا ضَعُفَ عَنِ الصَّوْمِ اَطْعِمْ عَنْ كُلِّ يَوْمٍ مُدًّا»

Jika seseorang lemah dalam melaksanakn shaum, hendaknya ia memberikan makan kepada orang miskin satu mud setiap hari. (HR al-Baihaqi dan ad-Daruquthni).

Dari Anas ra. juga dikatakan:

«أَنَّهُ ضَعُفَ عَنِ الصَّوْمِ عَامًا قَبْلَ وَفاَتِهِ فَافْطَرَ وَاَطْعَمَ»

Ia tidak berdaya untuk melaksanakan shaum sepanjang tahun sebelum wafatnya, lalu ia berbuka dan memberi makan makan orang miskin. (HR ath-Thabrani dan al-Haitasmi).

Siapa Yang diwajibkan Qodho Puasa ?

Jika seseorang tidak kuasa untuk berpuasa karena sakit dan ia khawatir sakitnya bertambah parah, ia juga tidak wajib untuk berpuasa, karena di dalamnya ada rasa berat sehingga dia boleh berbuka. Kemudian, jika dia sembuh maka dia wajib untuk meng-qadha’-nya. Ketentuan ini didasarkan pada firman Allah SWT:

فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضاً أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

Siapa saja di antara kalian yang sakit, atau dalam perjalanan, maka hendaknya ia mengganti puasanya pada hari yang lain sejumlah yang ditinggalkannya. (QS al-Baqarah [2]: 184).

Jika seseorang sedang berpuasa, lalu ia jatuh sakit, ia boleh berbuka, karena keadaan sakit memang membolehkan seseorang yang berpuasa untuk berbuka.

Bagaimana Shaum Bagi yang Safar (melakukan Perjalanan ) ?

Sementara itu, berkaitan dengan seorang musafir, jika safar yang dilakukannya tidak mencapai empat barid atau 80 kilometer, ia wajib tetap berpuasa; ia tidak boleh berbuka. Alasannya, karena safar/perjalanan yang menghasilkan adanya rukhshah (keringanan) untuk berbuka adalah safar syar‘i (bukan semata-mata safar, peny.), yakni empat barid, yang setara dengan 80 km. Jika seorang musafir melakukan safar sejauh 80 km atau lebih maka ia boleh untuk tetap berpuasa dan boleh juga berbuka. Ketentuan ini didasarkan pada hadis penuturan Aisyah ra.:

`

«اِنَّ حَمْزَةَ اِبْنِ عَمْرُوْ اْلاَسْلَمِي قَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَأَصُوْمُ فِي السَّفَرِ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِنْ شِئْتَ فَصُمْ وَاِنْ شِئْتَ فَاَفْطِرْ»

Sesungguhnya Hamzah bin Amr al-Islami pernah bertanya kepada Rasulullah saw., “Wahai Rasulullah, “Perlukah aku berpuasa di dalam perjalanan?” Lalu Rasulullah saw. bersabda, “Jika engkau mau, berpuasalah. Jika engkau mau, berbukalah.” (HR al-Bukhari, Muslim, dan Ashab as-Sunan).

Berpuasa Bagi Yang Safar Lebih Utama ?

Bagi musafir yang puasanya tidak menjadikan dirinya merasa berat/sempit maka tetap berpuasa adalah lebih utama. Sebab, Allah SWT telah berfirman:

وَأَن تَصُومُواْ خَيْرٌ لَّكُمْ

Berpuasa itu adalah lebih baik bagi kalian. (QS al-Baqarah [2]: 184).

Sebaliknya, jika puasanya ternyata telah membebani dirinya, maka dia lebih utama untuk berbuka. Hal ini didasarkan pada hadis penuturan Jabir ra. sebagai berikut:

«مَرَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ بِرَجُلٍ تَحْتَ شَجَرَةٍ يُرَشُ عَلَيْهِ الْماَءُ فَقَالَ: مَا بَالَ هَذَا؟ قَاُلْوا: صَائِمٌ. فَقَالَ: لَيْسَ مِنَ الْبِرِّ الصِّيَامُ فِي السَّفَرِ»

Dalam sebuah perjalanan Rasulullah saw. pernah melewati seorang laki-laki yang sedang berteduh di bawah pohon sambil menyiramkan air ke tubuhnya. Beliau lalu bertanya, “Mengapa orang ini?” Para Sahabat menjawab, “Dia sedang berpuasa.” Mendengar itu, Beliau kemudian bersabda, “Tidak baik berpuasa dalam perjalanan.”(HR an-Nasa’i).

Bagaimana Qodho Wanita Hamil ?

Adapun wanita hamil dan menyusui, mereka boleh untuk berbuka, lalu meng-qadha’-nya di luar bulan Ramadhan, baik karena ia khawatir atas dirinya, khawatir atas dirinya dan bayinya, atau semata-mata khawatir atas bayinya; atau bahkan ia tidak memiliki kekhawatiran apapun. Pasalnya, kebolehan wanita hamil dan menyusui untuk tidak berpuasa semata-mata didasarkan pada statusnya sebagai wanita hamil dan menyusui, tanpa memandang apakah yang bersangkutan memiliki kekhawatiran ataukah tidak (akan kondisi dirinya dan bayinya, peny.). Ketentuan ini didasarkan pada apa yang telah dikukuhkan oleh hadis Nabi saw. dalam Ash-Shahihayn, sebagaimana dituturkan oleh Anas bin Malik al-Ka‘bi. Ia mengatakan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:

«اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: اِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ وَضَعَ عَنِ الْمُسَافِرِ الصَوْمَ وَشَطْرَ الصَّلاَةِ وَعَنِ الْحاَمِلِ وَالْمُرْضِعِ الصَّوْمَ»

Sesungguhnya Allah SWT telah memberikan keringanan bagi musafir dalam shaum dan sebagian shalatnya, sementara keringanan bagi wanita hamil dan menyusui adalah dalam shaumnya. (HR al-Bukhari dan Muslim).

Hadis di atas tidak memberikan batasan tertentu terkait dengan kebolehan seseorang untuk tidak berpuasa. Hadis tersebut bahkan menyebutkan kebolehan itu secara mutlak bagi wanita hamil dan menyusui, semata-mata karena statusnya sebagai wanita hamil dan menyusui.

Lalu terkait dengan kewajiban wanita hamil dan menyusui untuk meng-qadha’ shaum yang ditinggalkannya, hal itu didasarkan pada alasan bahwa mereka memang wajib untuk berpuasa. Ketika mereka memutuskan untuk tidak berpuasa, maka puasa menjadi utang bagi mereka, yang tentu wajib dibayar dengan cara di-qadha’. Ketetapan ini didasarkan pada hadis penuturan Ibn Abbas ra. yang menyatakan:

«اِنَّ اِمْرَأَةً قاَلَتْ: يَارَسُوْلَ اللهِ، اَنِّ اُمِّي مَاتَتْ وَعَلَيْهَا صَوْمُ نَذَرٍ، أَفَاَصُوْمُ عَنْهَا؟ فَقاَلَ: اَرَأَيْتَ لَوْكاَنَ عَلَى اُمِّكِ دَيْنٌ فَقَضَيْتِهِ اَكَانَ يُؤَدِّي ذَلِكَ عَنْهَا؟ قَالَتْ: نَعَمْ. قَالَ: فَصُوْمِي عَنْ اُمِّكِ»

Seorang wanita pernah berkata kepada Rasulullah saw., “Wahai Rasulullah saw., ibuku telah meninggal, sementara ia masih memiliki kewajiban berpuasa nadzar. Perlukah aku berpuasa untuk membayarkannya?” Rasul menjawab, “Bagaimana pendapatmu seandainya ibumu memiliki utang, lalu engkau membayarnya, apakah hal itu dapat melunasi utangnya?” Wanita itu menjawab, “Tentu saja.” Rasul lalu bersabda, “Karena itu, berpuasalah engkau untuk membayar utang puasa ibumu.” (HR Muslim).

Kemudian, tidak adanya kewajiban atas wanita hamil dan menyusui untuk membayar fidyah, hal itu karena dalam hal ini memang tidak ada nash yang menunjukkannya.

Bagaimana Keharusan merukyat hilal bulan Ramadhan.?

Shaum Ramadhan hanya diwajibkan atas kaum Muslim saat sudah terlihat hilal (bulan sabit tanggal 1) bulan Ramadhan. Jika pada saatnya hilal Ramadhan terhalang dari pandangan manusia, maka kaum Muslim wajib menggenapkan bilangan bulan Sya‘ban (menjadi 30 hari), lalu besoknya mereka harus sudah mulai berpuasa. Ketentuan ini didasarkan pada hadis penuturan Ibn Abbas ra. bahwa Nabi saw. pernah bersabda:

«اَنَّ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: صُوْمُوْا لِرُؤْيَتِهِ وَاَفْطِرُوْا لِرُؤْيَتِهِ، فَاِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاَكْمِلُوْا الْعِدَّةَ، وَلاَ تَسْتَقْبِلُوْا الشَّهْرَ اسْتِقْبَالاً»

Berpuasalah kalian karena merukyat hilal dan berbukalah kalian (mengakhiri puasa Ramadhan, peny.) juga karena melihat hilal (bulan sabit tanggal 1 Syawal, peny.).Jika hilal terhalang dari pandangan kalian maka genapkanlah bilangan bulan Sya‘ban. Janganlah kalian kalian menyambut bulan itu (dengan berpuasa, peny.). (HR al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ahmad, dan ad-Darimi).

Haruskah Shaum didahului niat ?.

Shaum Ramadhan, sebagaimana juga shaum-shaum lainnya, hanya dipandang absah jika didahului dengan niat. Dasarnya adalah sabda Nabi saw.:

«اِنَّمَا اْلاَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ»

Sesungguhnya amal ibadah itu bergantung pada niatnya. (HR Muslim).

Niat wajib dilakukan setiap hari selama bulan Ramadhan. Pasalnya, shaum pada masing-masing hari merupakan ibadah yang berdiri sendiri, yang waktunya dimulai dari terbit fajar dan diakhiri saat matahari terbenam. Shaum pada hari ini tidak bisa ikut-ikutan rusak oleh rusaknya puasa pada hari-hari sebelumnya maupun hari-hari sesudahnya. Karena itulah, tidak cukup satu niat untuk berpuasa sebulan penuh. Akan tetapi, niat harus dilakukan setiap hari.

Kapan Niat Dilakukan

Sahum Ramadhan ataupun shaum-shaum wajib lainnya tidak sah dilakukan jika niatnya baru dilakukan siang hari. Niat shaum wajib dilakukan pada malam hari. Ketentuan ini didasarkan pada hadis penuturan Hafshah:

«اَنَّ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنْ لَمْ يَبِيْتِ الصِّيَامَ مِنَ اللَّيْلِ فَلاَ صِيَامَ لَهُ»

Sesungguhnya Rasulullah saw. pernah bersabda, “Siapa saja yang tidak berniat puasa pada malam hari maka tidak ada puasa baginya.” (HR an-Nasa’i dan ad-Darimi).

Niat boleh dilakukan pada bagian malam manapun sejak terbenamnya matahari hingga terbitnya fajar karena seluruhnya termasuk bagian dari malam hari.

Bagaimana Dengan Niat Shaum Sunnah ?

Adapun niat shaum sunnah boleh dilakukan setelah terbit fajar sebelum matahari tergelincir. Hal ini didasarkan pada hadis penuturan Aisyah ra.:


«اَنَّ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: أَصْبَحَ اليَوْمُ، عِنْدَكُمْ شَيْءٌ تُطْعِمُوْنَ؟ فَقَالَتْ: لاَ. فَقَالَ: اِنِّي إِذًا صَائِمٌ»

Sesungguhnya Nabi saw. pernah bertanya, “Apakah pagi ini ada sesuatu (makanan) untuk kalian makan?” Aisyah menjawab, “Tidak ada.” Nabi saw. kemudian berkata, “Kalau begitu, aku akan berpuasa saja.” (HR Ahmad).

Niat shaum Ramadhan juga harus ditentukan. Artinya, seseorang yang hendak berpuasa harus menyatakan diri bahwa ia memang berniat untuk shaum Ramadhan pada hari itu, karena ia merupakan bentuk taqarrub kepada Allah yang terkait dengan waktu pelaksanaannya. Hanya saja, niat tidak mesti dinyatakan secara verbal, tetapi cukup dengan adanya maksud di dalam kalbu. Niat juga hanya dianggap sah jika secara pasti dimaksudkan untuk melaksanakan shaum Ramadhan pada hari tertentu karena menentukan niat pada masing-masing hari adalah wajib.

Kapan Waktu pelaksanaan shaum?.

Waktu pelaksanaan shaum dimulai sejak terbit fajar, yakni fajar shâdiq (waktu subuh) dan diakhiri dengan terbenamnya matahari (saat magrib). Hal ini didasarkan pada hadis penuturan Umar ra:

«اَنَّ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: اِذاَ أَقْبَلَ اللَّيْلُ مِنْ هَاهُنَا وَاَدْبَرَ النَّهَارُ مِنْ هَاهُنَا وَغَابَتِ الشَّمْسُ مِنْ هَاهُنَا فَقَدْ اَفْطَرَ الصَّائِمُ»

Sesungguhnya Nabi saw. pernah bersabda, “Jika malam telah datang dari sini, siang telah berakhir dari sini, dan matahari pun sudah tenggelam, maka orang-orang yang berpuasa berbuka saat itu. (HR al-Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, Abu Dawud dan Ahmad).

Allah SWT juga berfirman:

(وَكُلُواْ وَاشْرَبُواْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّواْ الصِّيَامَ إِلَى الَّليْلِ

Makan dan minumlah kalian hingga jelas bagi kalian putih-hitamnya sang fajar, lalu sempurnakanlah shaum hingga tiba waktu malam. (QS al-Baqarah [2]: 187).

Jika seseorang yang sedang berpuasa makan dan minum, sementara dia ingat bahwa dia sedang berpuasa, dan dia pun tahu bahwa makan-minum itu haram saat puasa, maka batallah puasanya, karena ia melakukan perkara yang dilarang dalam puasa tanpa ada uzur.

Bagaimana Meneteskan Obat Ke Dalam Hidung ?

Jika orang yang sedang berpuasa meneteskan obat ke dalam hidung atau memasukkan air ke lubang telinganya hingga sampai ke otaknya, batallah puasanya. Hal ini didasarkan pada hadis penuturan Luqaith bin Shabrah ra. yang menyatakan:

«قُلْتُ: يَارَسُوْلَ اللهِ، اَخْبِرْنِي عَنِ الْوُضُوْءِ. قَالَ: اَسْبِغِ الْوُضُوْءَ وَخَلِّلْ بَيْنَ اْلاَصَابِعِ وَبَالِغْ فِي اْلاِسْتِنْشاَقِ اِلاَّ اَنْ تَكُوْنَ صَائِمًا»

Aku berkata, “Wahai Rasulullah saw., beritahulah aku tentang cara berwudhu.” Beliau bersabda, “Sempurnakanlah wudhu, renggangkalah jari-jemari, optimalkanlah menghirup air lewat hidung (ber-istinsyâq), kecuali jika engkau sedang berpuasa.” (HR at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Abu Dawud, Ibn Majah dan Ahmad).

Berkaitan dengan hadis di atas, pemahaman kebalikan (mafhûm mukhâlafah)-nya adalah larangan untuk tidak secara optimal (banyak-banyak) ber-istinsyâq saat berpuasa hingga tidak ada sedikit pun air yang sampai ke otak. Ini berarti, adanya air yang sampai ke otak adalah haram bagi orang yang berpuasa dan membatalkan puasanya. Makan, minum, menghirup sesuatu melalui hidung, dan meneteskan air ke dalam lubang telinga pengertiannya meliputi memasukkan apa saja; baik yang biasa dimakan dan diminum seperti nasi, air, tembakau, dan sejenisnya; ataupun yang biasa diteteskan melalui hidung, telinga, dan sejenisnya. Semua ini membatalkan puasa.

Bagaimana Hubungan Suami Istri Saat Shaum ?

Orang yang sedang berpuasa juga dilarang melakukan hubungan suami-istri. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT:

فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ

Sekarang, campurilah mereka. (QS al-Baqarah [2]: 187).

Ayat ini menunjukkan, bahwa mencampuri istri tidak dibolehkan sebelum sekarang ini, yakni pada siang hari bulan Ramadhan. Apabila yang dicampuri itu kemaluan maka batallah puasa. Jika yang dicampurinya selain kemaluan, atau sekadar mencium tetapi sampai membuat keluar air mani (sperma), maka batal pula puasa seseorang; tetapi jika tidak sampai membuat keluar sperma maka puasanya tidak batal. Hal ini didasarkan pada hadis penuturan Jabir ra. sebagai berikut:

«قَبَلْتُ وَاَنَا صَائِمٌ، فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ: قَبَلْتُ، وَاَنَا صَائِمٌ. فَقاَلَ: اَرَأَيْتَ لَوْ تَمَضْمَضْتَ وَاَنْتَ صَائِمٌ»

Aku pernah mencium (istriku) saat sedang berpuasa. Aku lalu menjumpai Nabi saw., kemudian bertanya, “Aku telah mencium (istriku), sementara aku sedang berpuasa.” Rasul saw. lalu bersabda, “Bagaimana pendapatmu jika engkau berkumur pada waktu engkau berpuasa?” (HR Ahmad).

Dalam hadis ini. Nabi saw. telah menyerupakan aktivitas mencium dengan berkumur; jika air sampai tertelan, batallah puasa seseorang; sedangkan jika tidak maka puasanya tidak menjadi batal. Demikian pula halnya dengan mencampuri istri pada selain kemaluan atau sekadar menciumnya.

Batalkah Orang Yang Sengaja Muntah ?

Jika seorang yang sedang berpuasa dengan sengaja membuat dirinya muntah maka batallah puasanya. Hal ini didasarkan pada hadis penuturan Abu Hurairah ra.:

«اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَنِ اسْتَقَاءَ عَامِدًا فَعَلَيْهِ الْقَضَاءُ، وَمَنْ ذَرَعَهُ الْقَيْءُ فَلاَ قَضَاءَ عَلَيْهِ»

Sesungguhnya Nabi saw. pernah bersabda, “Siapa saja yang telah memancing dirinya agar muntah dengan sengaja, ia wajib meng-qadha’ puasanya. Siapa saja yang muntah (tanpa disengaja), ia tidak wajib mengqadha’ puasanya.’” (HR at-Tirmidzi, Abu Dawud, Ibn Majah dan Ahmad).

Bagaimana Kalau Lupa ?

Semua hal di atas jika dilakukan/terjadi dengan catatan, yakni jika orang yang berpuasa melakukannya dengan sengaja. Adapun jika ia melakukakannya karena lupa maka puasanya tidak menjadi batal. Hal ini didasarkan pada hadis penuturan Abu Hurairah ra. yang menyatakan bahwa Nabi saw. pernah bersabda:

«مَنْ اَفْطَرَ فِي شَّهْرِ رَمَضَانَ نَاسِيًا فَلاَ قَضاَءَ عَلَيْهِ وَلاَ كَفاَرَةَ»

Siapa saja yang berbuka pada bulan Ramadhan karena lupa, ia tidak wajib meng-qadha’ dan tidak wajib pula membayar kafarah. (HR at-Tirmidzi).

Ketentuan di atas juga dirdasarkan pada hadis riwayat al-Bukhari dari Nabi saw. yang pernah bersabda:

«اِذَا نَسِيَ فَأَكَلَ اَوْشَرَبَ فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ فَاِنَّمَا اَطْعَمَهُ اللهُ وَسَقَاهُ»

Jika seseorang yang sedang berpuasa lupa sehingga dia makan atau minum maka sempurnakanlah (lanjutkanlah) puasanya. Sebab, itu hanyalah kehendak Allah yang (dengan sengaja) telah memberinya makan dan minum. (HR al-Bukhari Muslim, Ibn Majah dan Ahmad).

Bagaimana Melakukan Hubungan Suami Istri Padahal Sudah Terbit Fajar ?

Jika seseorang makan atau melakukan hubungan suami-istri dengan alasan karena dia menduga bahwa fajar belum terbit, padahal ternyata fajar telah terbit, atau ia mengira bahwa matahari telah terbenam, padahal matahari belum terbenam, maka batallah puasanya dan ia wajib meng-qadha’-nya. Ketetapan ini didasarkan pada hadis penuturan Hanzhalah ra. yang mengatakan:

«كُنَّا بِالْمَدِيْنَةِ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ وَفِي السَّمَاءِ شَيْءٌ مِنَ السَّحَابِ. فَظَنَّناَ أَنَّ الشَّمْسَ قَدْ غَابَتْ فَاَفْطَرَ بَعْضُ النَّاسِ فَاَمَرَ عُمَرُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ مَنْ كَانَ قَدْ اَفْطَرَ اَنْ يَصُوْمَ يَوْمًا مَكَانَهُ»

Saat kami berada di Madinah pada bulan Ramadhan, ketika langit dalam keadaan berawan, kami mengira matahari telah terbenam. Lalu sebagian orang berbuka. Karena itu, Umar ra. menyuruh agar orang yang terlanjur berbuka untuk berpuasa pada hari lain sebagai penggantinya. (HR al-Baihaqi dan al-Haitsami).

Ketetapan ini juga didasarkan pada hadis penuturan Hisyam bin Urwah dari Fathimah, istrinya, dari Asma’ yang mengatakan:

«اَفْطَرْنَا عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي يَوْمِ غَيْمٍ، ثُمَّ طَلَعَتِ الشَّمْسُ. قِيْلَ لِهِشاَمِ: اُمِرُوْا بِالْقَضَاءِ. قَالَ: لاَ بُدَّ مِنْ قَضَاءٍ»

Pada masa Rasulullah saw. kami pernah berbuka saat langit dalam keadaan mendung, kemudian matahari masih tampakt. Kepada Hisyam dikatakan, “Mereka disuruh meng-qadha’ puasa.” Dia lalu berkata, “Tentu saja harus meng-qadha’ puasa.” (HR al-Bukhari, Abu Dawud, Ibn Majah dan Ahmad).

Bagaimana Orang yang Berbuka Tanpa Uzur ?

Siapa saja yang berbuka pada siang hari bulan Ramadhan tanpa uzur, ia wajib meng-qadha’ puasanya. Ketentuan ini didasarkan pada sabda Nabi saw.:

«مَنِ اسْتَقَاءَ فَعَلَيْهِ الْقَضَاءُ»

Siapa saja yang memancing dirinya agar muntah, ia wajib meng-qadha’-nya. (HR at-Tirmidzi, Abu Dawud, Ibn Majah dan Ahmad).

Nabi saw. juga pernah bersabda:

«فَدَيْنُ اللهِ اَحَقُّ بِالْقَضَاءِ»

Utang kepada Allah lebih layak untuk dibayar. (HR Muslim).

Tidak ada komentar: